Ancam Demokrasi, Pengamat Ungkap Indikasi Rekayasa Fenomema Melawan Kotak Kosong di Pilkada 2024

Sejumlah pengamat ini rapatkan barisan di Kantor Visi Nusantara Maju, Cibinong, Kabupaten Bogor membahas fenomena kotak kosong dalam Pilkada 2024.-Bogor Aktual -Nanda Ibrahim
BogorAktual.id - Sejumlah pengamat politik mulai mengungkapkan kekhawatiran mereka terkait dugaan praktik oligarki dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
Empat pengamat politik, antara lain Yusfitriadi dari LS Vinus Indonesia, Ray Rangkuti dari Lima Indonesia, Jojo Rohi dari KIPP Indonesia, dan Rendy N.S Umboh dari JPPR, telah menggelar Diskusi Media di Kantor Visi Nusantara Maju, Cibinong, Kabupaten Bogor pada Jumat (9/8) sore.
Dalam kesempatan itu mereka menyoroti ancaman terhadap demokrasi akibat munculnya pasangan calon tunggal yang didukung oleh partai politik.
Yusfitriadi dari LS Vinus Indonesia menegaskan bahwa upaya politik untuk melawan kotak kosong dalam Pilkada semakin terlihat jelas.
Pasangan calon tunggal memberikan pemilih pilihan antara memilih pasangan calon tersebut atau memilih kotak kosong.
Menurut Yusfitriadi, Pilkada sejak 2015 berlangsung secara normatif bernilai kultural, namun fenomena kotak kosong mulai mencuat pada tahun-tahun terakhir.
Sebelumnya, kemenangan kotak kosong pernah terjadi dalam Pilkada Makassar 2018, menunjukkan bahwa persoalan kotak kosong bukan hal baru. Namun, pada kontestasi pilkada lain, semua kemenangan diraih oleh pasangan calon tunggal.
"Sejak Pilkada pertama kali dimulai, fenomena kotak kosong sudah ada di tiga kabupaten/kota di Provinsi. Kemudian, pada tahun 2017, jumlah kotak kosong bertambah menjadi 9, diikuti dengan 16 kotak kosong pada tahun 2018, dan mencapai 25 pasangan calon yang berpasangan dengan kotak kosong pada tahun 2020," ungkap Yusfitriadi dikutip Sabtu (10/8).
Untuk Pilkada serentak tahun 2024 ini, Yusfitriadi menilai adanya upaya campur tangan oligarki penguasa tingkat pusat yang akan mempengaruhi upaya melawan kotak kosong dalam Pilkada 2024.
Rekayasa dari pihak penguasa dilakukan karena adanya atmosfer pasca Pemilu legislatif dan presiden beberapa bulan sebelumnya.
"Kami melihat adanya pengaruh pemilu yang dilaksanakan di tahun yang sama, sehingga atmosfer pemilu kemarin membawa dampak ke dinasti. Indikasi-indikasi rekayasanya sudah mulai terlihat," papar Yus, sapaanya.
"Sebelumnya mungkin tidak terlihat, tetapi sekarang sudah terbuka karena ada upaya rekayasa dengan menggunakan penjegalan dan pemaksaan yang bahkan dapat mengancam demokrasi," imbuh dia.
Sementata itu, Ray Rangkuti dari Lima Indonesia menambahkan, bahwa pimpinan pusat partai politik yang memberikan mandat langsung kepada kader di daerah memberikan peluang bagi manipulasi dalam Pilkada tanpa memperhitungkan nilai kultural.
Hal itu dinilai merupakan upaya untuk memanipulasi posisi agar kursi kosong gubernur, bupati, atau walikota bisa ditempati oleh partai politik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News